Kamis, 18 Juni 2009

Sebagaimana yang telah kita ketahui, bahwa di Indonesia terdapat sekolah – sekolah agama yang dalam hal ini adalah madrasah yang ada di bawah naungan Departemen Agama dan juga terdapat sekolah umum di bawah naungan Dpartemen Pendidikan dan Kebudayaan. Dulunya Kedua lembaga tersebut nampaknya mempunyai standar yang berbeda. Akibatnya, lulusan dari madrasah yang ingin melanjutkan ke sekolah umum mengalami kesulitan. Demikian sebaliknya dari lulusan sekolah umum juga kesulitan untuk melanjutkan ke madrasah.
Untuk mengatasi permasalahan ini, pemerintahan Orde Baru menetapkan kebijakan dengan menerbitkan keputusan 3 menteri yang dikenal dengan SKB tiga menteri. SKB tiga menteri yang ditetapkan pada tahun 1975 tersebut menyatakan bahwa Lembaga Pendidikan Islam yang ditetapkan oleh Pemerintah, dalam hal ini Madrasah telah dipersamakan kedudukannya dengan sekolah – sekolah umum setingkat yang ada di bawah koordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Sebagai kelanjutan SKB 3 menteri tersebut, mau tidak mau madrasah harus mengikuti ketetapan pemerintah dengan pengaturan beban belajar 70 % pelajaran umum dan 30 % pelajaran agama. Dengan demikian ijazah dari madrasah akan sama legalnya dengan ijazah dari sekolah umum yang sederajat. Sedangkan pendidikan yang ada di pesantren dengan pengaturan beban belajar 90 % pelajaran agama dan 10 % pelajaran umum tidak dapat dipersamakan ijazahnya baik dengan madrasah maupun sekolah umum .
Kendati kedua macam sekolah ini mempunyai kedudukan yang sama namun keduanya tidak mendapat perlakuan yang sama. Pemerintah lebih cenderung memperhatikan sekolah umum di bawah naungan Departemen P dan K ketimbang memperhatikan madrasah. Dengan perbedaan perlakuan pemerintah tersebut menimbulkan opini masyarakat bahwa Lembaga Pendidikan Islam dalam hal ini adalah madrasah merupakan lembaga pendidikan “kelas dua”. Tidak jarang pula muncul berbagai macam suara yang menyatakan bahwa lulusan madrasah tidak akan bisa diterima sebagai pegawai pemerintah. Setidaknya ada tiga kenyataan yang dapat dijadikan sebagai asumsi pernyataan tersebut, yaitu : Pertama, subsidi yang menjadi bagian lembaga Pendidikan Islam pasti lebih kecil dibanding dengan sekolah – sekolah umum seperti yang di bawah koordinasi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kedua, tenaga ahli yang menjadi tenaga inti perangsang pembaharuan sangat dirasakan kurang baik secara intensitas maupun kualitas. Ketiga, sarana dan prasarana jauh dari memadai. Akibatnya lembaga Pendidikan Islam selalu tertimpa “musibah” dan pembaharuaannya selalu terlambat atau lebih sering “mengekor” pada lembaga pendidikan umum yang mewarnai keseluruhan sistem pendidikan nasional