Jumat, 12 Juni 2009

Setelah saya membaca artikel yang ditulis oleh Bapak Ahmad Sudrajad tentang kriteria guru profesional menurut wikepidia, saya tertarik untuk ikut mengulas tentang profesionalisme guru. Ulasan ini saya dasarkan atas buku-buku primbon kejawen dan tradisi pesantren yang kesemuanya menurut pemahaman saya. Oleh karna itu saya mengharapkan masukan dari para pembaca yang budiman.
Kriteria guru menurut wikepidia antara lain (1) mempunyai latar pendidikan yang sesuai dengan keguruan, (2) mempunyai keahlian atau unggul dalam hal pengetahuan, (3) mempunyai kemampuan yang tinggi dalam hal mempraktekkan segala pengetahuannya dan (4) mempunyai kualitas kerja yang tinggi. Jika ke-empat kriteria tersebut telah terpenuhhi maka berhaklah ia menyandang gelar seorang guru.
Jika Bapak Bapak Ahmad Sudrajat mengulas guru sebagai profesi ala wikepidia maka saya mencoba untuk mengulas status guru dalam perspektif filosofi Jawa, mengingat saya adalah anak Jawa. Dalam istilah Jawa ada 2 istilah yang menggambarkan tentang status seseorang yang bertugas memberikan ilmu kepada orang lain. Istilah tersebut adalah "ajar" dan "guru".
Ajar digunakan jika seseorang tersebut mengajarkan sesuatu dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu. Mungkin istilah ajar ini lebih tepat disebut dengan pelatih, seperti pelatih sepakbola, pelatih silat dsb. Gelar ajar ini pulalah yang disandangkan kepada bapak guru kita yaitu Ki Hajar Dewantara. Dulunya Ajar ini bekerja di lingkungan pemerintahan dan mendapatkan gaji.

Sedangkan guru adalah seseorang yang mengajarkan cara menjalani kehidupan di tengah masyarakat mengenai cara berprilaku, cara pikir atau filosofi, kepercayaan dan keyakinan, kebudayaan dll. Gelar guru ini biasa disandangkan kepada para kasta Brahmana pada agama Hindu ataupun biksu pada agama Budha dan kiai pada agama Islam. Duluya para guru ini tinggal di padepokan atau pertapaan dan tidak mendapat gaji.
Namun oleh orang Jawa, mereka memadukan ketiga agama tersebut dengan membuat kirata basa atau singkatan arti dari istilah guru yaitu digugu dan ditiru. Hal ini dikarnakan guru adalah sosok figur yang selalu diikuti nasehat-nasehat dan petuah-petuahnya sekaligus sebagai pusat teladan bagi murid-muridnya.
Syarat menjadi seorang guru antara lain : (1) menguasai banyak ilmu, (2) halus tutur katanya, (3) tinggi budi pekertinya, (4) pandai mendongeng, (5) pandai menasehati, (6) sabar dan telaten, (7) tertib dan disiplin, (8) pemaaf dan rendah hati.
Jika diperhatikan maka kedelapan syarat tersebut lebih condong pada kepribadian guru dalam kesehariannya. Status guru ini seakan bukan sebuah pekerjaan atau profesi melainkan sebuah status sosial yang tinggi di masyarakat. Mereka memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat tanpa pamrih. Hal ini dapat dilihat pada tradisi pesantren kuno bahwa para santri yang belajar di pesantren tidak dipungut biaya. Sebagai balas imbal jasa, mereka hanya sekedar membantu pekerjaan kiai di sawah atau di kebun. Adapun hasil dari sawah dan kebun tersebut juga kembali lagi dinikmati oleh santri itu juga.
Ilmu yang diperoeh dengan guru tersebut akan benar-benar dapat menghantarkan seseorang menjadi manusia yang dapat dihandalkan. Baik secara mental dan pemikiran selalu ada ikatan batin dengan sang guru. Kuatnya ikatan ini membimbing seorang murid dapat menempuh jalan yang lurus sesuai ajaran sang guru.