METODE IJTIHAD DALAM
MERESPON PERSOALAN UMAT
A. PENDAHULUAN
Kehidupan manusia dimulai dari realita bukan dari teori, ilmu, agama maupun pengetahuan. Realita tersebut adalah kehidupan manusia pastilah akan selalu diliputi dengan suatu problem. Sebagai contoh orang yang tidak punya uang padahal ia butuh untuk membeli suatu barang, ini adalah suatu problem. Setelah punya uang ternyata kebutuhan yang ingin dicukupi tidak cuma satu padahal uangnya tidak mencukupi untuk semua kebutuhan terhadap barang tersebut.
Problema merupakan bagian kehidupan umat manusia yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya. Dari problem tersebut itulah manusia akan belajar menggunakan akalnya dalam mengatasi berbagai problem hidupnya. Permasalahan-permasalahan yang dihadapi umat manusia tidak hanya seputar pemenuhan jasmaniah saja melainkan semua sendi kehidupan manusia termasuk di dalamnya permasalahan kerohaniannya. Oleh sebab itu, penopang atau pegangan yang kuat dan handal sangat dibutuhkan umat manusia ketika mengahadapi masalah yang pelik.
Dari berbagai macam bentuk pelarian manusia dari permasalahan yang dihadapi, kepercayaan terhadap supranaturallah yang paling banyak dicari umat manusia terutama bagi masyarakat tradisional dan masyarakat berkembang. Kepercayaan terhadap hal yang supranatural ini banyak diketemukan dalam ajaran agama sebagai suatu doktrin yang harus dipercayai, termasuk dalam hal ini adalah agama Islam. Salah satu agama yang mampu menghadapi permasalahan-permasalahan hidup dari setiap masa dan kondisi. Yang mana ajaran agama tersebut dapat menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami umat dalam setiap masa yang berbeda. Bukan hanya permasalahan dalam hal peribadatan tapi juga dalam masalah hukum sosialnya.
Menurut Sayid Tsabiq dalam kitab Fiqih Sunah, Beliau menjelaskan bahwa Islam adalah agama yang universal, maksudnya ditujukan untuk seluruh umat di dunia kapan dan dimana saja[1]. Islam tidak terbatas pada satu kaum saja melainkan untuk seluruh kaum di dunia. Islam juga tidak ditujukan hanya pada masa Nabi atau sahabat saja, melainkan untuk semua masa setelah zaman kenabian Nabi Muhammad.
Islam memeliki metoda yang unik dalam menjawab semua permasalahan uamtanya. Metoda ini sering disebut dengan “ijtihad”. Suatu istilah yang sudah tidak asing lagi para pemuda muslim yang gemar menggeluti dunia hokum terutama hokum Islam. Metode ini menjadi bahan perbincangan yang sangat menarik di kalangan dunia Islam. Berbagai pendapat sudah dikemukakan sehubungan dengan kedudukan dan fungsi ijtihad tersebut.
Atas dasar paparan tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat makalah dengan judul “Metode Ijtihad dalam Merespon Persoalan Umat”
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasar paparan di atas maka penulis merumuskan pembahasan dalam makalah ini ke dalam beberapa rumusan masalah. Rumusan masalah tersebut antara lain :
1. Apa yang dimaksud ijtihad ?
2. Bagaimanakah cara ijtihad ?
3. Haruskah setiap orang berijtihad ?
C. PEMBAHASAN
1. Pengertian Ijtihad
Ijtihad menurut bahasa adalah berasal dari kata jahada yang artinya: mencurahkan segala kemampuan, atau menanggung beban kesulitan. Jadi arti ijtihad menurut bahasa adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan.[2]
Kata ijtihad ini hanya dipergunakan dalam hal-hal yang mengandung kesulitan dan memerlukan banyak tenaga. Jadi tidak benar jika ijtihad digunakan untuk hal-hal yang sepele dan ringan.
Ijtihad menurut istilah ushul fiqh sebagaimana dikemukakan Imam As-Syaukani adalah:
“Mencurahkan kemampuan untuk memperoleh hukum syara’ yang bersifat ‘amali/ praktis dengan jalan istinbath (mengeluarkan/ menyimpulkan hukum).” [3]
Definisi tersebut kemudian dijelaskan oleh As-Syaukani:[4]
o Badzlul wus’i (mencurahkan kemampuan), ini mengecualikan hukum-hukum yang didapat tanpa pencurahan kemampuan. Sedangkan arti badzlul wus’i adalah sampai dirinya merasa sudah tidak mampu lagi untuk menambah usahanya.
o Hukum syara’ itu mengecualikan hukum bahasa, akal, dan hukum indera. Oleh karenanya orang yang mencurahkan kemampuannya dalam bidang hukum (bahasa, akal, dan indera) tadi tidak disebut mujtahid menurut istilah ushul fiqh.
o Demikian pula pencurahan kemampuan untuk mendapatkan hukum ilmiah tidak disebut ijtihad menurut fuqoha’, walaupun menurut mutakallimin dinamakan ijtihad.
o Dengan jalan istinbath itu mengecualikan pengambilan hukum dari nash yang dhahir atau menghafal masalah-masalah, atau menanyakan kepada mufti atau dengan cara menyingkap masalah-masalahnya dari buku-buku ilmu. Karena hal-hal tersebut walaupun benar mencurahkan kemampuan menurut segi bahasa, namun tidak benar berijtihad menurut istilah.
Kalau dicermati secara seksama, pendapat yang disampaikan As Syaukani tersebut lebih menitik beratkan pada prakteknya. Seorang berijtihad tersebut mempunyai tujuan untuk meningkatkan amaliahnya dalam mempraktekkan ajaran agamanya. Jikalau hanya berhenti pada teori tanpa dipraktekkan maka ijtihad tersebut tidak benar secara istilahnya. Selain itu usaha keras yang dilakukan dengan cara mengumpulkan berbagai permasalahan dan cara penyelesaiannya, meskipun usaha tersebut membutuhkan penelitian dan usaha yang keras maka hal tersebut tidak dianggap ijtihad secara istilah.
Sedangakan tokoh lain yaitu Al-Imam Abu Zuhroh mengemukakan bahwa sebagian ulama menta’rifkan: Ijtihad dalam istilah ushuliyyin (ahli ushul fiqh) adalah mencurahkan upaya keras (juhd) dan mengorbankan kemampuan maksimal, baik dalam istinbath (mengeluarkan / menyimpulkan) hukum-hukum syar’i maupun tathbiq / penerapannya. Ijtihad dengan ta’rif ini maka terbagi dua:[5]
o Ijtihad Istinbathi yaitu ijtihad yang sempurna, dan itu khusus bagi golongan ulama’ yang mengarah pada pengenalan hukum-hukum furu’ (cabang) yang ‘amali (praktis/ operasional) dari dalil-dalilnya yang terinci. Sebagian ulama mengatakan, ijtihad (isthinbathi) ini termasuk ijtihad khusus, kadang terputus pada suatu masa. Hal itu menurut pendapat Jumhur (mayoritas ulama), atau paling kurang sebagian banyak dari ulama. Sedangkan ulama Hanabilah (ulama Hanbali) berpendapat bahwa jenis ini (Ijtihad Isthinbathi) harus tidak pernah lowong pada setiap masa, mesti harus ada mujtahid yang mencapai tingkatan ini.
o Ijtihad Tathbiqi, para ulama bersepakat bahwa tidak boleh kosong suatu masa pun dari adanya (mujtahid tathbiqi). Mereka itu adalah ulama takhrij dan taathbiq (mengeluarkan dan menerapkan) ‘illat-illat yang diistinbatkan atas perbuatan-perbuatan juz’iyah. Maka pelaksanaan mereka atas hal ini adalah penerapan apa yang telah diistinbatkan para ulama yang dulu. Dan dengan tathbiq/ penerapan ini terjelaskanlah hukum-hukum permasalahan yang belum dikenalkan oleh ulama-ulama terdahulu yang memiliki derajat ijtihad mengenai hal itu. Dan sesungguhnya upaya yang dilakukan pemilik derajat kedua (mujtahid tathbiqi) adalah apa yang dinamakan tahqiqul manath (mengeluarkan ‘illat-illat, sebab-sebab terjadinya hukum).
Dari pendapat yang dikemukan Abu Zuhroh tersebut mempunyai kesamaan dengan As Syaukani bahwa keduanya lebih menitik beratkan segi prakteknya. Maksudnya ijtihad tersebut digunakan untuk membantu umat dalam mengerjakan ajaran Islam dengan cara yang lebih gambling, jelas dan mudah dipahami. Sesuai dengan pepatah “Ilmu yang tidak diamalkan maka bagaikan pohon yang tidak berbuah” atau dalam pepatah lain “ilmu tanpa amal bagai lebah tak bermadu”.
Oleh karena untuk membantu umat lebih mudah dalam memahami ajaran Islam secara benar, maka pendapat yang disampaikan Abu Zuhroh tersebut sangat relevan jika dalam setiap masa harus ada mujtahid. Sebab dengan adanya perubahan zaman dan masa maka akan membawa atau berdampak permasalahan baru yang belum pernah ada, oleh sebab itu keberadaan mujtahid tersebut pasti dibutuhkan dalam setiap masa.
2. Cara berijtihad
Semenjak zaman kenabian, istilah ijtihad sudah dikenal dan telah dipraktekkan oleh sahabat. Sahabat yang dikenal memprkatekkan ijtihad ini diceritakan dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad sebagai berikut :
عَنْ مُعَاذٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حِينَ بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ فَقَالَ كَيْفَ تَصْنَعُ إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ قَالَ أَقْضِي بِمَا فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ قَالَ فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَجْتَهِدُ رَأْيِي لَا آلُو قَالَ فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرِي ثُمَّ قَالَ الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم[6]َ
Artinya :
“Dari Muadz : Sesungguhnya Rasulullah saw mengutus Muadz ke Yaman, beliau bersabda, “.Bagaimana anda nanti memberikan keputusan ?”. “Aku memberi keputusan dengan kitabullah”. “Bagaimana kalau tidak ada dalam kitabullah?”. “Maka dengan sunah Rasulullah saw.” “Bagaimana kalau tidak ada dalam sunah Rasulullah?.” “Aku berusaha dengan ra’yu ku dan aku tidak akan menyerah.”. Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan bersabda, “segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah” ( H.R : Ahmad)
Dalam hadits tersebut disebutkan urut-urutan berijtihad, yaitu pertama dicari terlebih dalam Al Qur’an jika tidak diketemukan maka dicari dalam hadits Nabi dan jika masih belum diketemukan maka baru berijtihad dengan segala kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian seseorang dapat berijtihad jika ia menguasai isi dari Al Qur’an dan hadits. Sedangkan tempat yang diperbolehkan ijtihad adalah pada tempat-tempat dalil yang masih bersifat global yaitu masalah-masalah hukum Islam.
Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat manakala ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad). Lapangan atau medan dimana ijtihad dapat memainkan peranannya adalah:[7]
§ Masalah-masalah baru yang hukumnya belum ditegaskan oleh nash al-Qur'an atau Sunnah secara jelas.
§ Masalah-masalah baru yang hukumnya belum diijma'i oleh ulama atau aimamatu 'l-mujtahidin.
§ Nash-nash Dhanny dan dalil-dalil hukum yang diperselisihkan.
§ Hukum Islam yang ma'qulu 'l-ma'na/ta'aqquly (kausalitas hukumnya/'illat-nya dapat diketahui mujtahid).
Jadi, kalau kita akan melakukan reaktualisasi hukum Islam, disinilah seharusnya kita melakukan terobosan-terobosan baru. Apabila ini yang kita lakukan dan kita memang telah memenuhi persyaratannya maka pantaslah kita dianggap sebagai mujtahid di abad modern ini yang akan didukung semua pihak.
Sebaliknya ulama telah bersepakat bahwa ijtihad tidak berlaku atau tidak dibenarkan pada:[8]
§ Hukum Islam yang telah ditegaskan nash al-Qur'an atau Sunnah yang statusnya qath'iy (ahkamun manshushah), yang dalam istilah ushul fiqih dikenal dengan syari'ah atau "ma'ulima min al-din bi al-dlarurah."
Atas dasar itu maka muncullah ketentuan, "Tidak berlaku ijtihad pada masalah-masalah hukum yang ditentukan berdasarkan nash yang status dalalah-nya qath'i dan tegas."
Bila kita telaah, kaidah itulah yang menghambat aspirasi sementara kalangan yang hendak merombak hukum-hukum Islam qath'i seperti hukum kewarisan al-Qur'an.
§ Hukum Islam yang telah diijma'i ulama.
§ Hukum Islam yang bersifat ta'abbudy/ghairu ma'quli 'lma'na (yang kausalitas hukumnya/'illat-nya tidak dapat dicerna dan diketahui mujtahid).
Disamping ijtihad tidak berlaku atau tidak mungkin dilakukan pada ketiga macam hukum Islam di atas, demikian juga ijtihad akan gugur dengan sendirinya apabila hasil ijtihad itu berlawanan dengan nash. Hal ini sejalan dengan kaidah, "Tidak ada ijtihad dalam melawan nash."
Sedangkan dasar ijtihad ini didasarkan pada Hadits Nabi sebagai berikut:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
Artinya :
"Apabila seorang hakim akan memutuskan perkara, lalu ia melakukan ijtihad, kemudian ijtihadnya benar, maka ia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenarannya). Jika hakim akan memutuskan perkara, dan ia berijtihad, kemudian hasil ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala (pahala ijtihadnya)" [9] (Riwayat Bukhari Muslim).
Hadits tersebut mengindikasikan bahwa ijtihad boleh dilakukan dan perbedaan pendapat sebagai efek dari ijtihad sudah barang tentu dapat ditolerir. Adapun perbedaan pendapat yang dapat ditolerir adalah berpedaan yang saling menghormati bukannya saling menyalahkan dan merasa paling benar sendiri sementara yang selain dirinya adalah salah.
3. Kewajiban ijtihad
Seseorang yang ingin mendudukkan dirinya sebagai mujtahid harus memenuhi beberapa persyaratan. Di antara sekian persyaratan itu yang terpenting ialah:
§ Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat al-Qur'an yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan pengertian ia mampu membahas ayat-ayat tersebut untuk menggali hukum.
§ Berilmu pengetahuan yang luas tentang hadits-hadits Rasul yang berhubungan dengan masalah hukum, dengan arti ia sanggup untuk membahas hadits-hadits tersebut untuk menggali hukum.
§ Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh ijma' agar ia tidak berijtihad yang hasilnya bertentangan dengan ijma'.
§ Mengetahui secara mendalam tentang masalah qiyas dan dapat mempergunakannya untuk menggali hukum.
§ Menguasai bahasa Arab secara mendalam. Sebab al-Qur'an dan Sunnah sebagai sumber asasi hukum Islam tersusun dalam bahasa Arab yang sangat tinggi gaya bahasanya dan cukup unik dan ini merupakan kemu'jizatan al-Qur'an.
§ Mengetahui secara mendalam tentang nasikh-mansukh dalam al-Qur'an dan Hadits. Hal itu agar ia tidak mempergunakan ayat al-Qur'an atau Hadits Nabi yang telah dinasakh (mansukh) untuk menggali hukum.
§ Mengetahui latar belakang turunnya ayat (asbab-u'l-nuzul) dan latar belakang suatu Hadits (asbab-u'l-wurud), agar ia mampu melakukan istinbath hukum secara tepat.
§ Mengetahui sejarah para periwayat hadits, supaya ia dapat menilai sesuatu Hadist, apakah Hadits itu dapat diterima ataukah tidak. Sebab untuk menentukan derajad/nilai suatu Hadits sangat tergantung dengan ihwal perawi yang lazim disebut dengan istilah sanad Hadits. Tanpa mengetahui sejarah perawi Hadits, tidak mungkin kita akan melakukan ta'dil tajrih (screening).
§ Mengetahui ilmu logika/mantiq agar ia dapat menghasilkan deduksi yang benar dalam menyatakan suatu pertimbangan hukum dan sanggup mempertahankannya.
§ Menguasai kaidah-kaidah istinbath hukum/ushul fiqh, agar dengan kaidah-kaidah ini ia mampu mengolah dan menganalisa dalil-dalil hukum untuk menghasilkan hukum suatu permasalahan yang akan diketahuinya.[10]
Ijtihad sendiri pada dasarnya terdiri dari bermacam-macam tingkatan sesuai dengan keadaan dan kemampuan si mujtahid itu sendiri. Tingkatan-tingkatan tersebut yaitu:
a. Ijtihad Muthlaq/Mustaqil, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara menciptakan sendiri norma-norma dan kaidah istinbath yang dipergunakan sebagai sistem/metode bagi seorang mujtahid dalam menggali hukum. Norma-norma dan kaidah itu dapat diubahnya sendiri manakala dipandang perlu. Mujtahid dari tingkatan ini contohnya seperti Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi'i dan Imam Ahmad yang terkenal dengan sebutan Mazhab Empat.
b. Ijtihad Muntasib, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahid dengan mempergunakan norma-norma dan kaidah-kaidah istinbath imamnya (mujtahid muthlaq/Mustaqil). Jadi untuk menggali hukum dari sumbernya, mereka memakai sistem atau metode yang telah dirumuskan imamnya, tidak menciptakan sendiri. Mereka hanya berhak menafsirkan apa yang dimaksud dari norma-norma dan kaidah-kaidah tersebut. Contohnya, dari mazhab Syafi'i seperti Muzany dan Buwaithy. Dari madzhab Hanafi seperti Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf. Sebagian ulama menilai bahwa Abu Yusuf termasuk kelompok pertama /mujtahid muthalaq /mustaqil.
c. Ijtihad mazhab atau fatwa yang pelakunya disebut mujtahid mazhab/fatwa, yaitu ijtihad yang dilakukan seorang mujtahiddalam lingkungan madzhab tertentu. Pada prinsipnya mereka mengikuti norma-norma/kaidah-kaidah istinbath imamnya, demikian juga mengenai hukum furu'/fiqih yang telah dihasilkan imamnya. Ijtihad mereka hanya berkisar pada masalah-masalah yang memang belum diijtihadi imamnya, men-takhrij-kan pendapat imamnya dan menyeleksi beberapa pendapat yang dinukil dari imamnya, mana yang shahih dan mana yang lemah. Contohnya seperti Imam Ghazali dan Juwaini dari madzhab Syafi'i.
d. Ijtihad di bidang tarjih, yaitu ijtihad yang dilakukan dengan cara mentarjih dari beberapa pendapat yang ada baik dalam satu lingkungan madzhab tertentu maupun dari berbagai mazhab yang ada dengan memilih mana diantara pendapat itu yang paling kuat dalilnya atau mana yang paling sesuai dengan kemaslahatan sesuai dengan tuntunan zaman. Dalam mazhab Syafi'i, hal itu bisa kita lihat pada Imam Nawawi dan Imam Rafi'i. Sebagian ulama mengatakan bahwa antara kelompok ketiga dan keempat ini sedikit sekali perbedaannya; sehingga sangat sulit untuk dibedakan. Oleh karena itu mereka menjadikannya satu tingkatan.
e. Tingkatan muhafidhin, mereka tidak mentarjih tetapi mengetahui apa yang rajah / kuat, dan menyusun derajat tarjih sesuai dengan yang telah ditarjih oleh para pentarjih. Mereka ini berhak berfatwa sebagaimana para pendahulu, tetapi sikupnya sempit.[11]
Berdasar syarat dan tingkatan ijtihad yang diuraikan di atas maka sudah jelas bahwa tidak mungkin setiap orang akan mampu berijtihad. Hal ini dikarenakan setiap manusia pasti mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dan mempunyai jenis keahlian yang berbeda pula. Hal ini sudah dijelaskan Allah dalam surat Al Baqarah :
Artinya :
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.( Al Baqarah : 286 )
Ayat tersebut dengan gambling menjelaskan bahwa Allah tidak membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya. Jika memang tiap manusia mempunyai kemampuan yang sama mana mungkin Allah akan membeda-bedakannya dalam hukum Allah. Dengan adanya perbedaan perlakuan terhadap pembebanan hokum Allah ini menunjukkan bahwa setiap manusia pasti mempunyai kemampuan dan kondisi yang berbeda.
Contoh saja, sebagaimana kita ketahui bahwa al-Quran diturunkan, disampaikan, dan ditulis dalam bahasa Arab yang sangat tinggi dan indah. Ketinggian dan keindahan bahasa al-Quran ini diakui semua bangsa, sekalipun oleh non muslim. Dari sisi ini pula, al-Quran merupakan mukjizat yang abadi dan tidak terkalahkan, sebagaimana dibuktikan tatkala manusia dan bangsa jin tidak mampu menyusun satu surat sekalipun yang sama dengan al-Quran.
Oleh karena itu, syarat minimal untuk memahami al-Quran adalah menguasai bahasa Arab secara sempurna. Selain bahasa Arab, juga harus dikuasai asbabun nuzul, tafsir, dan segala disiplin ilmu yang diperlukan untuk memahami al-Quran, disamping kebersihan dan kesucian hati sebagai syarat penting untuk memahami al-Quran sebagai kalamullah. Tidak berhati-hati dalam usaha memahami al-Quran, kemudian mengklaim penafsirannya sebagai mutlak hukum Allah, akan mengandung resiko yang sangat berat dan tinggi. Demikian pula untuk memahami sunah Nabi saww, diperlukan sejumlah disiplin ilmu tertentu.
Mewajibkan setiap individu muslim untuk berijtihad, tentu akan memberatkan. Mereka harus duduk bertahun-tahun, belajar ilmu-ilmu tersebut sehingga mempunyai malakah (keahlian) dalam bidang syariat. Untuk itu mereka harus meninggalkan semua pekerjaan dan profesi yang digeluti. Juga bakat yang dimiliki harus di kesampingkan untuk belajar agama sampai menjadi mujtahid. Hal demikian ini sangat tidak rasional dan tidak realistis, mengingat manusia diciptakan Allah swt dengan bakat alami yang berbeda-beda, dan tidak semua orang ahli dalam bidang agama, malah tidak tepat, jika semua orang harus menjadi ulama dan mujtahid. Al-Quran sendiri hanya menganjurkan agar sebagian orang saja yang memperdalam ilmu agama.
Bagi orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad baik mereka ulama maupun awam, bagaimana mungkin mereka bisa berijtihad jika mereka tidak mempunyai kemampuan tersebut. Oleh sebab itu bagi orang yang tidak memenuhi syarat ijtihad diharamkan bagi mereka berijtihad. Orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan ijtihad semacam itu wajib mengikuti pendapat imam mujtahid yang mu'tabar atau istifta'/meminta penjelasan hukum kepada ahl al-dzikr, sejalan dengan firman-Nya,
Artinya :
"Bertanyalah kepada ahli dzikir (ulama) apabila kamu tidak mengerti." (QS. al-Nahl: 43).
Dan sebaliknya bagi orang-orang yang memenuhi persyaratan ijtihad maka diwajibkan bagi mereka berijtihad dan mengamalkan hasil ijtihadnya. Tidak dibenarkan baginya bertaqlid atau mengikuti pendapat mujtahid yang lain. Kearah inilah harus kita fahami ucapan imam-imam mujtahid kenamaan seperti Hanafi, Syafi'i dan lain-lain yang melarang taqlid. Artinya, bagi yang mampu berijtihad sendiri karena telah memenuhi persyaratannya janganlah mengikuti atau bertaqlid kepada mujtahid yang lain, tetapi wajib berijtihad sendiri.
Dengan demikian tidak benar jika kita mengatakan bahwa ijtihad itu wajib dan taqlid itu haram secara mutlaq tanpa ada batasan. Sebab tidak realistis, kenyataan menunjukkan bahwa sejak dahulu sampai saat sekarang dan akan berlanjut terus sampai akhir zaman nanti, mayoritas umat Islam berada pada kalangan awam. Yang awam ini jelas tidak mungkin untuk dipaksakan harus mengupayakan dirinya menjadi mujtahid.
Bagi kita yang harus kita tempuh ialah mengusahakan bagaimana agar lahirnya ulama-ulama yang ahlu li 'l-ijtihad dapat diperbanyak. Kalau sudah pada tempatnya untuk duduk di kursi ijtihad, janganlah menduduki bangku taqlid. Sebab ada beberapa ulama yang semestinya mereka mampu berijtihad,tetapi nyatanya masih tetap menjadi muqallidin yang setia. Demikian juga harus kita usahakan, jangan sampai terjadi adanya "man laisa lahu ahlun li 'l-ijtihad" memberanikan diri untuk berijtihad. Ini sangat berbahaya.
Ijtihad tetap diperlukan sepanjang zaman, mengingat beberapa masalah antara lain; sosial, budaya, ekonomi, pendidikan, politik, dan semua aspek kehidupan senantiasa berkembang dan membutuhkan penyelesaian yang Islami. Dibukanya pintu ijtihad akan mendorong kaum muslimin untuk terus mengkaji dan menggali ayat-ayat al-Quran dan sunah, dan memberikan kepada mereka rasa tanggung jawab sebagai pemilik al-Quran dan sunah, untuk menjelaskan kepada dunia tentang pandangan al-Quran menyangkut segala sesuatu dalam setiap aspek kehidupan.
D. KESIMPULAN
Berdasar pembahasan di atas maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Ijtihad adalah suatu metode yang digunakan untuk menemukan hukum baru atas permasalahan yang belum ada hukumnya secara pasti. Ijtihad ini ditujukan untuk membantu pemahaman dalam mengamalkan ajaran Islam secara praktis dan tidak memberatkan umatnya dengan catatan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
2. Ijtihad dibolehkan hanya jika permasalahan tersebut tidak diketemukan dalam Al Qur’an dan hadits dan dalam bidang hukum Islam, sementara dalam hal aqidah tidak boleh melakukan ijtihad
3. Ijtihad hanya diperbolehkan bagi orang yang memenuhi persyaratan. Sementara bagi yang tidak memenuhi persyaratan harus mengikuti ulama mujtahid.
REFERENSI
Ahmad Qushairi, Fiqih Islami di Era Globalisasi, Bandung: Rosda Karya, 1993
Al Imam Abu Zuhroh, Pemikiran Islam, Jakarta: Bina Aksara, 2001
Daud, Ma’mur, Tarjamah Shohih Muslim Karya Muslim, Juz 4, Jakarta, Wijaya, 1993.
Departemen Agama RI, Al Quran dan Terjemahnya, Semarang: CV. Asy Syifa, 2000
Imam Syaukani, Intelektualisme Islam, Bandung: Remaja Rosda Karya, 1990
Mohammad Ihsan Maulana, Perkembangan Fiqih Islam, Surabaya: Usaha Nasional, 1999
PCI Nihon, dll, Al Maktaba As Shamela, Musnad Ahmad Juz 5, Jepang, Al Meshkat NU, 2006.
Sabiq, Sayyid, Fikih Sunnah, Jilid I, Bandung, PT Al Ma’arif, 1997.
Zawawi, Universalieme Islam di Era Globalisasi, Jakarta: Balai Pustaka, 1991