Jumat, 06 Maret 2009

DASAR HUKUM PELAKSANAAN

SELAMATAN DI JAWA

A. PENDAHULUAN

Tradisi tahlil atau tahlilan tidak hanya dikenal dikalangan umat Islam di Indonesia, menurut Agus Sunyoto --penulis buku syeh Siti Jenar-- berpendapat bahwa tradisi tahlil juga dilaksanakan di Iran, Hal tersebut didasarkan kenyataan bahwa ketika Imam Khomeini –pemimpin syi’ah- meninggal juga diadakan tahlil untuk mendoakannya. [1]

Dalam suatu qawa’id fiqhiyyah yang dirumuskan dalam ungkapan ‘addah mahakkamah (kebiasaan atau tradisi local, diakui sebagai hukum yang berlaku) artinya adat kebiasaan masyarakat atau budaya local diakui sebagai salah satu instrument ajaran dalam Islam, sepanjang adat kebiasaan atau budaya local tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip lain yang sudah baku (qoth’iy). Dalam ilmu ushul fiqh atau budaya local ini disebut dengan ‘urf (secara etimologis berasal dari akar kata ma’ruf artinya kebaikan).

Kehadiran instrument islam akan selalu mengakibatkan transformasi social menuju suatu bentuk baru yang tidak serta merta memotong habis masa lampau budaya local yang dimasukinya, melainkan dapat juga melestarikan apa saja yang baik dan benar dari masa lampau. Seperti jilbab yang dipakai pada masyarakat Arab, sirwal pada masyarakat India, dan lain sebagainya.

Upacara selamatan bagi orang meninggal (tradisi tahlilan) hari ke-1, 2. 3, 7, 40, 100 atau seribu hari hingga haul (ulang tahun hari kematian yang dilaksanakn setiap tahun) dengan kegiatan tahlil adalah suatu tradisi untuk menanamkan tauhid di tengah suasana keharuan duka yang sentimentil dan sugestif. Tahlil menurut masyarakat NU (nahdlatul “ulama) merupakan ritual mengirim do’a pengampunan dan keselamatan pada mereka (orangtua, ulama, dsb) yang telah meninggal. Namun ada juga beberapa ulama yang melakukan pengiriman do’a kepada mereka yang masih hidup.

Tradisi tahlil dalam masyarakat jawa juga sering disebut dengan kata sedekah (sedekahan), karena setiap kegiatannya dianggap selalu memberikan sedekah (pemberian) baik bagi mereka yang datang berkunjung atau bagi pemilik hajat. Jadi masing-masing saling bersedekah (memberi) dalam bentuk barang atau pun berupa dukungan moral yang sangat mereka harapkan. Dukungan moral diantara mereka secara psikologis dapat saling memberi motivasi.

Fenomena yang terlihat di masyarakat ada beberapa jenis makna penyebutan kata pelaksanaan tahlilan umumnya dipakai untuk persembahan yang dikelompokkan menurut jenis, maksud dan suasana; ketika dipakai untuk peristiwa gembira disebut syukuran, Untuk peristiwa sedih (kematian) atau untuk meminta perlindungan (pindah rumah, menepati kantor/rumah baru, awal membuka usaha, dll) disebut selamatan (mohon perlindungan), dan untuk meminta sesuatu disebut hajatan (menghasratkan sesuatu). Dalam kenyataan istilah syukuran, hajatan dan sedekah sulit dibedakan, mereka lebih sering menggunakan kata tahlil-an.

B. RUMUSAN MASALAH

Adapun yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah pelaksanaan selamatan Tahlilan (kematian dan bagaimanakah dasar hukum pelaksanaan Tahlilan?

C. PEMBAHASAN

Kata tahlil merupakan bentuk masdar yang berasal dari bahasa arab yaitu : Halala – tahliilan – tahlil, artinya membaca/mengucap kalimat “ Laa ila ha Illallah“ makna inilah yang dimaksud dengan pengertian tahlilan. [2]

Dikatakan sebagai tahlil, karena memang dalam pelaksanaannya lebih banyak membaca kalimat-kalimat yang mengesakan Allah seperti “tahlil” (membaca lailaha ilallah), tahmid, dan lain sebagainya sesuai dengan tradisi masyarakat setempat atau pemahaman dari guru (syekh) suatu daerah tertentu. [3]

Berdasarkan studi sejarah Islam di Indenesia banyak dikemukakan bahwa kelompok-kelompok tarekat telah berkembang pesat sejak abad ke 13. Perkiraan bahwa kelompok tarekat merupakan kelompok yang mentradisikan tahlil/zikir didasarkan pada konsep ajaran-ajaran yang dikembangkan. Dapat disebutkan inti ajaran tarekat adalah pelaksanaan zikirullah sebagai jalan untuk mensucikan dan mendekatkan diri pada sang khaliq.

Aktifitas tahlil/zikir yang berawal dari ajaran tarekat itulah yang kemudian meluas menjadi tradisi tahlil. Persoalannya kemudian, aktifitas tahlil yang berkembang tidak sepenuhnya bermakna sebagai jalan mendekatkan pada Allah. Tradisi tahlil ternyata telah melampaui spectrum dari tujuan awal tarekat. Aktifitas tahlil telah bergeser dan ditempatkan sebagai alat untuk segala kepentingan, baik yang bersifat ritual maupun cultural.

Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan:[4]

من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع ودليل الشافعى وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للانسان الا ما سعى وقول النبى صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن آدم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

Dari perkataan Imam Nawawi tersebut dapat dipahami bahwa barangsiapa yang ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.

Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian besar ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak bisa, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu bisa, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.[5]

Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari kelompok Syafii yg mengatakannya sampai, dan sekelompok besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,
telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama.

Dan dalil Imam syafii adalah bahwa firman Allah : “dan tiadalah bagi setiap manusia kecuali amal perbuatannya sendiri” dan sabda Nabi saw : “Bila wafat keturunan adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah Jariyah, atau ilmu yg bermanfaat, atau anak shalih yg mendoakannya”. [6]

Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai, tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai. Namun dari kesimpulannya bahwa Imam Nawawi menukil bahwa sebagian ulama syafii mengatakan semua pengiriman amal sampai.

Pada pelaksanaan tahlilan selain bacaan tahlil ada juga beberapa ayat al-Quran, tasbih, hamdallah, shalawat dan bacaan-bacaan lainnya yang bagi umat muslim dianggap memiliki fadilah dan syafaat. Mereka sering mengamalkannya dalam segala macam acara ritual, bahkan dalam resepsi (sebelum atau setelah akad nikah) pun mereka tidak meninggalkan amalan tahlil ini. Dengan kata lain : digunakan bacaan-bacaan tertentu yang mengandung banyak keutamaan (fadhilah). Dimana Pahala bacaannya dihadiahkan kepada orang-orang yang telah meninggal. Untuk memudahkan penamaan orang menyebutnya dengan tahlil; lantaran dalam prakteknya pengamalan bacaan tahlil paling banyak dibaca. Imam Nawawi berkata:[7]
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل “. Dari perkataan Imam Nawawi tersebut dapat dipahami bahwa sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim, demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yang menjelaskannya, dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” [8]

Mengenai permasalahan tersebut juga dijelaskan pula dalam Almughniy:
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ

Dari kitab tersebut dapat dipahami bahwa tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”. Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya) maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad : :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”. [9](Al Mughniy Juz 2 hal : 225)

Dan dikatakan pula dalam Syarh AL Kanz :[10]


وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة


Dari kitab tersebut dapat dipahami sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.

Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar, dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu, dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal, dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak”

Menurut Muh. Dachlan Arifin mengutip dari hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah menjelaskan bahwa amal kebaikan orang mu’min yang akan menjumpai dan berfaedah kepada orang itu, setelah nanti ia mati ialah: ilmu yang diajarkan dan disebarluaskan (disaat ia masih hidup), mushaf al-Quran yang diwariskan, anak shaleh yang ditinggalkannya, masjid yang dibangunnya, rumah yang dibangun untuk sabilillah, sungai/parit/selokkan yang digalinya, shodaqoh yang dikeluarkan dari hartanya ketika masih sehat di dunia.[11]