Jumat, 13 Maret 2009

Pendidikan Tradisional
Semenjak munculnya reformasi pada tahun 1997, Dunia Pendidikan Indonesia selalu mengalami perubahan kurikulum yang cukup cepat perubahannya. Perubahan kurikulum tersebut juga diiringi dengan banyaknya perubahan pada metode pendidikannya.
Pada zaman dulu metode pendidikan lebih dominan terfokus pada sosok figur sang guru. Sekarang metode seperti ini sudah dianggap ketinggalan zaman dan sudah tidak relevan lagi. Guru hanyalah sekedar fasilitator bagi anak yang ingin belajar.
Masalahnya, hampir mayoritas anak Indonesia terutama di daerah pedesaan kurang mempunyai minat yang besar dalam belajar. Terutama pada tingkat lanjutan, sekolah sudah berubah menjadi suatu trend sekedar untuk mengisi waktu sebelum terjun untuk mencari kerja.
Maka tidaklah heran jika mental dan moral anak-anak Indonesia mengalami penurunan yang sangat signifikan. Hal ini dapat dilihat dengan maraknya kasus kriminal yang dilakukan oleh anak usia remaja dan sekolah.
Sebetulnya kalau dikaji, apakah yang salah dalam hal ini ? Metode pendidikannya ataukah mental gurunya ataukah memang keadaan zaman yang sudah semakin kelam ?
Kalau kita kilas balik pada zaman dulu sebelum banyak perubahan metode pendidikan seperti zaman sekarang ini, sosok guru adalah suatu figur yang sangat dihormati dan terpandang kedudukannya. Metode yang mereka terapkan kebanyakan metode yang penuh dengan kekerasan. Tidak sedikit kasus dimana anak dipukul dengan penggaris kayu, dibenturkan ke dinding dan sebagainya. Namun anehnya, murid yang diperlakukan demikian pada umumnya malahan menjadi anak yang berhasil dalam kehidupannya.
Sementara sekarang kalau ada guru yang bertindak keras kok tidak bisa membawa kebaikan, yang ada malah membawa permasalahan. Demikian juga dengan sang anak, kekerasan yang dialaminya membuat dirinya seakan diajari untuk berlaku keras dan kejam.
Dalam hal ini mungkin kita bisa menjawab pertanyaan tersebut dengan mengutip hadits Nabi Muhammad yang populer, yaitu : انما الاعمال بالنيات yang artinya sesungguhnya pekerjaan itu tergantung pada niatnya. Jadi mungkin saja sang guru pada masa dulu kendati mereka melakukan kekerasan tersebut atas dasar kasih sayang mereka dan sambil mencipta dalam hati agar sang murid menjadi anak yang baik. Sebaliknya mungkin guru zaman sekarang melakukan kekerasan dikarenakan mungkin karena gengsi merasa diremehkan, atau sebagai pelampiasan emosinya. Jadi jelas keduanya mempunyai niat yang jauh beda.
Dari sisi lain, tentang mental guru zaman dulu, mereka berjuang tanpa memperhatikan gaji. Sementara dewasa ini marak sekali guru dijadikan lahan bisnis mencari uang. Jika guru dalam mengajar tidak mempunyai keikhlasan bagaimana bisa membentuk mental anak supaya baik. Guru kencing berdiri murid kencing berlari.
Oleh sebab itu para ulama salaf memberikan panduan dengan mengatakan :
اصلح نفسك يصلح الناس
Artinya : perbaikilah dirimu maka itu akan memperbaiki manusia yang lain.
Dari sini mulai jelas bahwa seorang guru haruslah mempunyai mental sebagai guru terlebih dulu. Terutama dari segi mentalnya terlebih dulu, bukan hanya sekedar pengetahuan saja. Dengan menatal guru yang bagus inilah yang nantinya akan dapat membawa perkembangan anak menuju keberhasilan dalam kehidupan mereka.
Lalu apakah mental guru tersebut sudah cukup ? Jawabannya belum. Guru hanyalah pembantu atau sebagai wakil dari orang tua murid dalam melaksanakan pendidikan. Artinya tumpuan utama dalam pendidikan anak adalah si orang tua anak itu sendiri. Jika si orang tua anak sudah tidak peduli dengan perkembangan mental anaknya maka bagaimana bisa mengontrol perubahan anak. Bukankah anak mempunyai perubahan-perubahan yang semuanya harus diikuti dengan cara penanganannya.
Dengan demikian faktor orang tua dan guru inilah yang menjadi pondasi utama dalam pembentukan mental anak. Anak yang terdidik dengan mental yang bagus maka ia akan siap dalam menghadapi segala situasi zaman yang serba tidak menentu ini. Ia tidak akan mudah terpengaruh oleh bujuk rayuan gemerlap dunia yang menyesatkan.
Sudah siapkah anda dengan pendidikan anak anda ?